Senin, 29 Agustus 2011

Furukawa (?) [CHAPTER 1]

Oik memang bukan anak yang beruntung. Ia tumbuh di keluarga yang tidak mampu. Sebenarnya, mampu. Tapi, tidak semampu orang kaya. Ayahnya bekerja di toko elektronik di Pasar Hoshina. Sedangkan Ibunya mempunyai usaha laundry di rumahnya. Oik mempunyai adik. Tepatnya, 2 adik. Namanya Bastian dan Ourel. Mereka kembar.

Oik sekarang akan memasuki tahun ajaran baru. Rapor nya bagus, rata-rata nilainya A. dan ia mendapat rangking 3 di sekolahnya.  Dengan gembira, Oik masuk ke dalam rumahnya.
“Aku pulang” kata  Oik sambil melepas sepatunya dan menyimpannya di Rak. Ia mengambil sandal ruangan. Ia disambut oleh adik-adiknya.
“Kakak!! Bu, kakak sudah pulang!” kata Ourel dan Bastian semangat. Ibunya yang sedang memasak berhenti dan menemui anaknya. Ibunya tersenyum.
“Bagaimana raport anak Ibu?? Apa bagus?? Ayo tunjukkaaan!” kata Ibunya Oik - Miss Choi keras. Oik menggelengkan kepalnya.
“Bu, tenanglah. Aku masuk dulu ya” kata Oik. Ia menenteng tasnya masuk ke dalam kamarnya. Melepas jaket oranye-nya. Mematut diri di cermin. Membenarkan rambutnya yang sedikit berantakkan. Dan kembali ke bawah. Adik-adiknya beserta ibunya sudah menunggu di ruang tengah.

“Ayo, Oik sayang! Tunjukkan!”  kata ibunya semangat. Oik tersenyum dan menaruh buku raport di meja kecil. Ibunya mengambilnya. Saat membacanya, wajahnya berseri.
“Ranking 3? Bagus! Ini harus dirayakan!” kata Ibunya sambil beridiri dan melompat-lompat. Begitu pun bastian dan Ourel. “Yaaay! Makan-makaaaan!” kata Ourel dan Bastian. Oik hanya menatapnya, dan berkata,
“Tidak usah bu. Tidak perlu repot-repot” kata Oik singkat. Ibunya menatap Oik, dan menggoyang-goyangkan jari terlunjuknya,
“A, a! tidak bisa. Kau harus setuju! Siap-siaplah Oik. Ibu baru saja dapat tambahan uang” kata Ibunya menuju dapur. “Aku ikuuut!” kata Ourel dan Bastian keras. Oik tersenyum, beruntung ya aku punya keluarga seceria ini walau susah… eh? Tunggu. Mana ayah?, pikir Oik

Oik bantu menyiapkan makan malam. Oik  menaruh dan mengelap piring yang basah. Lalu membantu mengambil nasi, dan sayuran. Juga ikan rebus.
“Ibu buat sup Miso?” tanya Oik saat bau kuah sup Miso tercium.
“Tentu, hanya untuk hari ini. Bagaimana? Jarang-jarang kan Ibumu ini memasak sup Miso” kata Ibunya sambil mengaduk suo miso di kuali. Serra menggeleng, “Ibu, terima kasih…” kata Oik sambil merangkul tangan Ibunya. Ibunya tersenyum.

Jam menunjukkan jam 7. Waktunya makan malam! Ourel dan Bastian melahap makanan yang ada di meja. Begitu pun Oik. Oik megambil daging dengan sumpitnya. Lalu menjejalkannya ke dalam mulutnya.
“Ourel, Bastian! Makan yang pelan!” nasehat Ibunya pada Ourel dan Bastian.
“Ibu, ayah belum pulang?” tanya Oik. Ibunya melihat jam. “Hm… sebentar lagi juga sampai” jawab Ibunya Oik

Bel berbunyi. “Itu ayah!” kata Ibu sambil beranjak dari kursinya. Oik meneruskan makan, bersama Ourel dan Bastian. Tak lama kemudian, muncul lah seorang bapak-bapak dengan sedikit jenggot di dagunya dan memakai kaca mata datang. Itu, Mr. Hoyama.
“Selamat datang, Ayah” kata Oik. Ayahnya tampak lelah. “Ya, ya. Choi, beri aku minum” kata Ayahnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke lehernya. Ibunya meletakkan 1 the hangat di depan suaminya. Ayahnya langsung meneguknya dengan cepat.
“Ayah, bagaimana tokonya?” tanya Oik. Ayahnya mengambil nasi, dan memakannya dengan lahap.
“Baik baik saja! Oh, ya. saat ourel dan bastian tidur, ayah ingin bicara dengan mu, Choi, Oik” kata Ayahnya serius. Bastian dan Ourel tampak tidak peduli. Mereka terus makan.
“Oh ya, Oik , berapa nilai raport mu?”

***

Bastian dan Ourel sudah ditenangkan oleh Ibu saat makan malam selesai. Oik duduk sambil memeluk bantalnya menghadap kedua orangtuanya. Ayahnya meneguk tehnya sedikit. Oik memainkan ujung bantalnya. Ayah Oik pun mulai bicara.
Oik, ada yang ingin ayah sampaikan” kata Ayahnya. Oik menatap wajah ayahnya. Dan Oik berkata dalam hati, ‘aku merasa tidak enak…’.
Oik, kamu tahu kan, ayah berhutang pada..-“
“Mr. Fujiyama. Iya, lalu?” Oik menyela.
“Ya, dan Mr. Fujiyama meminta padaku satu hal” lanjut Ayahnya. Ibunya menatap Oik dengan tatapan penuh arti.
“Ia ingin… kau jadi pengurus anaknya” kata Ayahnya yang membuat Oik terkejut. Apa? Pengurus anak?? Hey, dunia ini sudah gila ya?! batin Oik. Kening Oik berkerut, dan menaruh bantalnya di samping.
“Apa ayah? Pengurus? Apa, apa ayah gila? Apa Mr. Fujiyama gila? Kenapa harus aku, Ayah?” Oik bertanya-tanya. Ini benar-benar gila.
“Tolong ayah, Oik! Hanya ini saja permintaan Ayah, untuk membayar hutang! Apa Oik tega? Lihat ayah dibagaimanakan oleh Mr. Fujiyama?? Ayolah, mau ya?” pinta ayahnya Oik sambil membungkuk-bungkuk. Oik diam, dan menatap Ibunya.
“Bagaimana dengan Ibu? Apa Ibu setuju?” tanya Oik . Ibunya mengangguk. Jlegeer! Bagai petir disiang bolong. Pengasuh anak?? Yang benar saja?!

***

 Oik berkemas. Ya, pada hari ini Oik akan di jemput oleh suruhannya Mr. Fujiyama. Oik  akan keluar kota. Karena, Mr. Fujiyama tinggal di Tokyo. Sedangkan Oik tinggal di Hokkaido. Jadi, Oik harus pindah.
“Hati-hati, jaga anak-anaknya dengan baik” pesan Ibunya saat menaruh koper di depan rumah. Oik memegang tas ranselnya.
“Memangnya, anaknya berapa sih? Apa laki-laki? Atau perempuan? Anak kecil?” gumam Oik. Ayahnya memegang pundak Oik
“Ayah tidak tahu pasti. Yang ayah tahu, Mr. Fujiyama punya anak laki-laki” kata Ayahnya. Oik mengendus pelan. Tiba-tiba, di depan rumahnya berhenti 1 unit mobil BMW warna hitam. Oik menganga melihatnya. Lalu, dari bagian supir, keluar seseorang memakai kaca mata hitam dan memakai jas. Seperti orang kantoran. Ia menghadap keluarga Furukawa, alias nama keluarga Oik.
“Permisi, ini keluarga Furukawa?” tanya laki-laki itu sambil melepas kaca matanya. Wah, tampan. Ayahnya Oik langsung mengatakan ya. dan mereka pun bersalaman.
“Kenalkan, aku Mario. Tapi, nama panggilanku… Rio sih. Salam kenal ya” katanya. Lalu, pandangannya mengarah ke hadapan Oik. Rio, alias Mario itu tersenyum melihat Oik
“Jadi ini, nona kecil? Alias Oik Cahya Furukawa? Baiklah, Nona! Ayo kita ke tokyo” kata Rio sambil menarik tangan Oik
“Tunggu!” kata Oik.
Rio berhenti, dan menatap Oik. “Ada apa Nona? Ayo! Tunggu apa lagi?” tanya Rio. Oik menunjuk ke kopernya. “Bawakan” kata Oik polos. Rio mendadak lemas, “Hah~ dalam sejarahku, aku tak pernah disuruh-suruh semacam ini! Tapi ya, baiklah.. bagi nona yang sedang di tunggu tuan Muda!” kata Rio sambil berjalan semangat mengangkut koper Oik. Oik tersenyum. Oik menatap keluarganya. Ada Ourel dan Bastian yang baru saja bangun.

Dengan hati-hati, Oik memeluk satu-satu anggota keluarganya. Dan yang terakhir, di ayahnya.
“Ayah, aku pasti akan rindu ayah…” kata Oik. Ayahnya menelus-elus punggung Oik. “Ya, kami juga. Kirim-kirim surat ya!” kata Ayahnya. Oik mengangguk. Dari jauh, Rio memegang tissue. “Ukh… aku terharu…” katanya. Oik melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobil.
“Sampai Jumpa!” kata keluarga Oik.  Oik hanya tersenyum, dan menutup jendela mobilnya.


Hampir dua jam, Oik berada di perjalanan. Rio menyetir mobil dengan wajah yang ceria. Entah kenapa, Oik melihat Rio itu aneh. Sebenarnya dia apa? Mana, Rio sedang menyetel lagu anak-anak. Dasar Gila.
“Rio, ehm, maksudku, Mario” panggil Oik. Rio memperatikan Oik dari kaca dalam mobil, lalu merespon, “Ada apa?” tanya nya. Oik menghela napas.
“Kau itu… siapa nya Mr. Furukawa?” tanya. Oik. Rio tertawa. Oik mengerutkan keningnya.
“Apa yang lucu?” tanya Oik. Rio berhenti, dan berdehem.
“Maaf. Ehm, ehm. Aku… hanya suruhannya Mr. Furukawa. Dan juga, teman seperjuangan tuan Muda” kata Rio sambil membenarkan dasi hitamnya yang ia pakai. Ia juga menepuk nepuk dadanya dengan sebelah tangan. Oik ingin bertanya, ‘Siapa itu tuan muda?’ tapi, toh. Nanti juga tahu. Oik hanya membulatkan bibirnya.
“Sebentar lagi kita sampai, siapkan dirimu! Kau akan bertemu Mr. Fujiyama” kata Rio mengecilkan volume suara tape di dalam mobil. Oik hanya menurut.

Setelah 20 menit setelah percakapan kecil tadi, akhirnya mereka sampai di rumah Mr. Fujiyama. Rumahnya besaar sekali! Oik saja sampai melongo seperti ia pertama kali menaiki mobil BMW ini.
“Kenapa? terkejut ya? tentu saja. Rumah Mr. Fujiyama, terkenal sangat besar” kata Rio sambil menurunkan Koper Oik
“Tidak. Masih ada yang besar lagi. Rumah Mr. Jun-Soo, dari korea yang pindah ke jepang” kata Oik sambil menatap rumah itu lagi. Rio mendecak, “Kau tahu juga rupanya. Baiklah, ayo ikut aku” kata Rio. Ia menarik koper  Oik dan membiarkan Oik mengikutinya.

Oik berdiri di depan sebuah pintu yang besar. Ini baru pintu masuk. Banyak sekali jendela. Ada kamera pengaman, atau CCTV, Oik tahu itu dari temannya. Lalu, Rio mememcet Bel.
“Ehm, permisi! Ini aku, Mario Stevano” kata Rio. Oik terkikik. Kenapa ya? Dia dipanggil rio? Padahal, nama aslinya saja Mario. Lalu, keluarlah suara dari Interkom.
“Kau bersama siapa, Rio?” kata disebrang sana. Suaranya laki-laki.
“Ah, pengasuhmu” kata Rio tersenyum. Entah kenapa Oik tak suka panggilan itu. Tiba-tiba, Pintu terbuka. Ada sosok perempuan, dengan baju pembantu. Aku tahu, itu pasti pembantu yang bekerja disini.
“Siang, Angel” kata Rio sambil tersenyum. Angel, nama pembantu itu. Ia melihat Oik dan langsung tersenyum.
“Ah, akhirnya datang! Silahkan Nona, masuklah! Biar aku yang membawakan barang-barangmu” kata Angel ramah. Oik tersenyum dan menggeleng, “Ah, maaf. Biar aku saja. Bawakan saja koper itu… berat” kata Oik sambil nyengir. Angel mengangguk dan membantu Rio mengangkut koper besar Oik

Oik terkagum-kagum saat masuk ke dalam rumah itu. Dalam nya luas sekali! Banyak barang barang mewah terpajang di sana. Dan banyak sekali foto-foto tergantung di dinding. Oik jadi terpaku pada sebuah foto, yang menurutnya laki-laki disana tampan.
“Tampan, ya? ya, aku memang tampan” kata Rio yang tiba-tiba di samping Oik. Oik mengerutkan kening.
“Hah? Itu fotomu? Tidak mirip!” kata Oik membandingkan wajah di foto dengan wajah Rio. Rio tertawa, “Hahaha, tentu saja itu bukan aku. Aku yang ada di belakangnya! Ini dia, tuan muda! Tampan kan?” kata Rio. Lagi-lagi kata tuan muda.
“Oh, jadi dia tuan-muda nya” kata Oik

Tunggu. Laki-laki itu terlihat muda sekali di foto itu.
Mario, eh, maksudku Rio , foto ini saat kalian umur berapa?” tanya Oik. Rio tampak berpikir, “Hm, umur… 12 kalau tidak salah” jawab Rio. “Sudah, basabasi nya! Kita di kejar waktu! Dasar!” Rio menarik Oik. Oik hanya mengaduh.

Sosok Angel sudah tidak terlihat. Angel mungkin di dapur. Oik melihat kopernya ada di ruang Tv. Rio menuju ke sebuah ruangan, dan akhirnya berhenti di satu pintu. Di depannya bertuliskan, ‘Mr. Fujiyama Room’.  Oik sudah bisa menebak itu pasti ruangannya Mr. Fujiyama. Rio mengetuk pintunya.
“Maaf mengganggu Mr. Fujiyama, tapi… aku membawa Nona Oik” kata Rio dengan sangat sopan. Huh, kalau tidak berhadapan dengan Mr. Fujiyama saja kegilaannya keluar, batin Oik
“Masuklah…” terdengar suara berat Mr. Fujiyama. Rio mempersilahkan Oik masuk duluan. Dengan ragu-ragu, Oik memutuar kenop pintu itu. Dan saat di buka, Oik melihat Mr. Fujiyama sedang menghadap jendela dan tangannya memegang koran.
“Ng… permisi..” kata Oik canggung, kaku. Sepertinya Mr. Fujiyama sangat dihormati, makanya Oik canggung berhadapan dengan Orang seorang yang dohormati. Oik pun membungkuk sebagai tanda hormat saat Mr. Fujiyama membalikkan badan.
“Duduklah, Oik” kata Mr. Fujiyama ramah. Oik mengikuti apa perintah dari Mr. Fujiyama. Mr. Fujiyama duduk di kursinya. Dan menyalakan rokok. Uh, apa tidak salah merokok di tempat seperti ini? Tanya Oik dalam hati. Rio berdiri di samping Oik.

“Nah, Nona, perkenalkan dirimu” kata Mr. Fujiyama. Apa? Perkenalan? Jarang-jarang jika orang mau bekerja harus perkenalan seperti ini.
“Selamat siang, saya Oik dari Hokkaido. Oik Cahya Furukawa. Umurku, 17 tahun. Masih SMA. Terima kasih…” kata Oik tegang. Mr. Fujiyama tersenyum.
“Kau mirip dengan ayahmu. Yah, mirip juga dengan Ibumu. Kau tahu kan alasanmu kesini? Bayar hutang? Tidak semua. Dari dulu, aku dan orang-orangku suka memperhatikanmu, Oik. Perangaimu bagus sekali. Dan banyak disukai orang. Dan kau cocok dengan pekerjaan ini. Cukup mudah kan, nona?” kata Mr. Fujiyama panjang lebar. “Lanjutkan, Rio” kata Mr. Fujiyama. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Oik kaget juga.
“Baiklah, Oik! Jadi begini. Kau akan kami tempatkan di apartemen yang cukup mahal. Dan juga akan disekolahkan di sekolah yang sama dengan tuan Muda. Segala pembayaran-pembayaran akan kami atur. Kau juga akan kami beri uang! Tugasmu hanya, menuruti apa mau tuan Muda. Nah, bagaimana? Apa kau keberatan, Oik?” jelas Rio. Oik menghela napas.
‘Baiklah… Oik. Ini tidak cukup berat kan? Jalani saja dulu…’ batin Oik dalam hati. Oik mengangguk. “Tidak, mungkin aku tidak keberatan” kata Oik pelan. Saat itu juga, Mr. Fujiyama selesai mengangkat telpon. Ia menghadap Oik lagi.
“Jadi, kau siapkan nona? Kita mulai besok” kata Mr. Fujiyama.

***

Oik duduk di sofa ruang Tv. Menunggu Rio selesai dengan urusannya. Oik tidak melakukan apa-apa. Ia hanya terpaku. Ia tak biasa dengan hal-hal seperti ini. Tiba-tiba, Rio datang dengan seseorang. Hei, tunggu. Yang datang bersama Rio adalah laki-laki yang di foto itu! Oik tertegun, ternyata dia lebih tampan dari yang difoto!
“Nah, Nona. Ini dia tuan Muda” kata Rio berseri-seri. Oik berdiri dan memberi salam. Tuan muda hanya diam. Lalu membisikkan sesuatu pada Rio. Rio mendengarkan dan mengangguk angguk. Lalu menghadap Oik
“Berapa umurmu, Oik?” tanya Rio. Ia menyampaikan apa yang dibisikkan tuan muda.
“Umurku? Umurku… 19” kata Oik berbohong. Untungnya, saat perkenalan di ruangan Mr. Fujiyama Rio tidak terlalu mendengar Oik umur berapa. Tuan Muda menghela napas, dan memasukkan tangannya ke saku celana.
“Tua sekali. Apa tidak ada yang muda-muda saja?” celetuk tuan muda santai. Oik tersinggug dirinya dibilang tua.
“Hei” kata Oik. Tuan muda menoleh, “Apa?” tanya Tuan muda.
“Aku tidak tua!” kata Oik membela. Wajahnya memerah. Tuan muda tertawa.
“Ahahaha, terserah kau lah! Dasar wanita kasar… Io, bawa wanita ini pergi…” kata Tuan muda sambil tertawa. Oik menahan amarahnya dan wajahnya ditekuk beberapa lipatan. Daya ikut tertawa sebentar, dan mengajaknya keluar.

“Apa-apaan tadi?! Bilang aku tua?? Dasar, tuan muda kasar! Bicara seenaknya! Yah, salahku juga sih aku mengaku 19 tahun! Huh, baiklah, Oik. Ini baru permulaan… ya, tenangkan dirimu. Besok aku akan mengaku bahwa umurku 17 tahun! Ya, benar.” Oik bicara pada dirinya sendiri di apartemen barunya. Apartemennya cukup luas, untuk seorang diri. Dan pastinya, fasilitasnya lengkap.
Tiba-tiba, telepon di apartemennya berdering. Oik mengangkatnya.
“Halo?” jawab Oik dengan suara lembutnya.
“Oi, Nuna!” kata di sebrang sana. Oik tidak kenal siapa yang bicara.
“Hei! Jangan panggil aku Nuna! Aku tidak setua itu!! Ini siapa??” tanya Oik dan juga ia marah marah dirinya di panggil Onnie yang artinya panggilan untuk wanita yang lebih tua dalam bahasa korea.
“Ini aku, Tuan Muda” kata Tuan muda. Oik terkaget-kaget. Kenapa tiba-tiba menelepon? Oik meremas gagang teleponnya.
“I… iya, ada apa?” tanya Oik. Entah kenapa, ia jadi tegang.
“Aku akan memeberi tahu jadwal untuk besok. Kau ke rumahku, tepat jam 6 pagi. Jika kau terlambat, ada sesuatu untukmu” kata Tuan muda dengan suara datarnya. Oik kaget. Untuk apa ke rumahnya sepagi itu.
“Eh, hei hei! Tung- ah! Terputus!” Oik mengendus kesal. Apa-apaan ini? Oik hanya bisa menerima kenyataan.
“Tuhan, selamatkan aku!” teriak Oik dalam hati.



Oik perlahan membuka matanya. Pening sekali kepalanya. Ia menghembuskan napasnya dalam dalam dan kembali mengingat apa yang dikatakan “Tuan Muda” kemarin. Matanya menyipit melihat jam. Bagus, masih jam 4, gumamnya. Ia berusaha memerintahkan tubuhnya untuk segera bangun dan segera mandi. Tapi sepertinya tubuhnya masih ingin berdiam lebih lama karena perjalanan yang cukup panjang kemarin.

Oik membiarkan tubuhnya berbaring sekali lagi. Mungkin 5 menit dan membaik. Oik pergi menuju kamar mandi apartemennya. Oik memandang kamar mandinya. Menabjubkan. Oik tak pernah memakai kamar mandi seluasa ini. Aroma stroberi juga menusuk hidung Oik . Oik mulai mengambil handuk dan mencoba untuk “beradaptasi” dengan kamar mandinya.

Setelah sekitar 10 menit Oik menaungi kamar mandi, Oik bergegas memakai baju seragamnya. Sangat elegan dan mewah. Seragam itu berwarna biru tua dengan rok rempel berwarna sama. Kemeja pendek, dan di sakunya tertempel logo sekolah barunya. Hito High School. Nama yang aneh, pikirnya.

Dengan sekuat tenaga, ia melihat jam. Jam setengah 6. Setengah enam?! “Tidak, aku bisa terlambat!” kata Oik sambil memekik. Buru-buru ia menyambar tasnya yang ringan – karena belum terisi apa-apa – dan melesat pergi keluar.

Di depan apartemennya sudah ada Rio, dengan mobil yang berbeda.
“Selamat pagi, Nona!” kata Rio dengan suaranya yang lembut, dan melepas kaca mata hitamnya seperti biasa. Oik berhenti sejenak untuk menarik napas.
“Pa… pagi! Ehm, kau menjemputku?” tanya Oik konyol. Tentu saja jawabannya Ya. Rio mengangguk,
“Ya, tentu saja! Buat apa kesini? Ayo cepat, langkahkan kakimu, Nona! Apa kau ingin melihat Tuan besar marah untuk yang pertama kali?” kata Rio tak sabar. Oik mengangguk cepat dan masuk ke dalam mobil Audi. Audi, sangat bagus.

Oik lihat jam di depan speedometer menunjukkan jam setengah enam lewat 15 menit. Untung saja sudah hampir dekat, jadi Oik rasa dirinya tidak terlambat.
“Aku, dan Tuan muda akan memakai mobil ini. Jadi aku memakirkannya diluar. Hm, kau bisa masuk sendiri kan? Jika kau tersesat, kau bisa memanggil Angel. Kau bisa terima itu, Nona?” kata Rio sambil berhenti di bahu jalan depan rumah Tuan Muda. Oik lagi-lagi mengangguk.
“Tunggu, aku mau tanya. Boleh?” sahut Oik mengetuk kaca jendela Rio. Rio membukanya sedikit.
“Apa saja” jawabnya. Oik menghela napas.
“Punya berapa mobil?” Oik tahu ini pertanyaan konyol tapi ia sangat penasaran. Rio tertawa, renyah sekali. Seperti tertawa mengejek.
“Kau akan tahu, mungkin jika tuan muda memberi tahumu” kata Rio dan mengetuk kaca sepeedometer, Oik tahu Rio memberi tahu agar aku segera masuk karena sudah jam setengah enam lewat dua puluh menit. Oik berbalik dan menuju gerbang.

Oik menatap sekitarnya. Mencium bau basah yang tersebar dimana-mana. Oik melihat Angel masih dengan baju pembantunya, menyiram tanaman yang jumlahnya banyak. Oik mengampirinya dengan sopan.
“Hai, em… kita bertemu lagi” mulai Oik , canggung. Angel menghentikan aktivitasnya dan menatap Oik  ramah,
“Eh, selamat datang! Mau membangunkan tuan muda ya?” tanyanya. Oik terdiam. Dahinya mengerut. “Membangunkan?” gumam Oik dan menunjukkan wajah bingung. Angel terkikik sebentar.
“Sepertinya kau sudah dikerjai olehnya.” Kata Angel dengan mata lebarnya. Oik makin bingung.
“Apa maksudmu?”
“Iya, maksudku… dia mengerjaimu, mengerti? Ia menyuruhmu datang sepagi ini untuk apa? Tentu saja untuk membangunkannya! Kau tahu, masuk ke HHS, itu jam delapan” cerocos Angel menjelaskan. Desah nafas Oik tak beraturan. Sepertinya ia geram. Ya, geram. Tentu saja ia tak percaya, hari pertamanya akan seperti ini. Tapi, Oik  berusaha tenang. Ia ingat temannya di Hokkaido – Fely – menasehatinya; “Tidak baik marah-marah pagi-pagi. Itu tidak sehat”. Oik berusaha mengikutinya. Jadi Oik  menahan amarahnya dan tersenyum paksa. Simpan untuk nanti, batinnya.

“Baiklah. Oh ya, Angel, bisa kau tunjukkan dimana kamarnya? Aku rasa rumah ini cukup besar, jad…”
“Ya, aku mengerti” sela Angel. “Aku akan mengantarmu” Angel memanggil seorang lagi untuk menggantikan tugasnya. Seragamnya sama, sepertinya ia pembantu juga. Dan feeling Oik, Angel itu kepalanya.


Angel dan Oik menyusuri banyak ruangan. Dari ruang perpustakaan, ruang Tv, bahkan meja makan. Dengan semangat, sesekali Angel memberitahu ruang apa saja yang mereka lewati. Oik hanya mengangguk, walau ia agak bosan. “Ya, setidaknya aku tidak akan tersesat di rumah ini” gumam Oik pelan, sehingga Angel tak mendengarnya sama sekali.

Angel dan Oik menaiki beberapa anak tangga, yang pasti sedikit melelahkan. Dan di ujung, ada kamar dengan pintu putih. Oik yakin bahwa itu kamar Tuan Muda. Dan benar, itu memang kamarnya. Angel tersenyum dan menyuruhku untuk hati-hati masuk ke dalam. Oik mengangguk dan mulai menarik napas saat Angel pergi.

“Oke, Oik. Kau bisa. Ini hal mudah” kata Oik dengan suara kecil, hingga terdengar berbisik. Oik memegang kenop pintunya dan perlahan memutarnya. Entah kenapa, Oik tegang. Dan dalam beberapa detik, pintu itu terbuka. Anehnya, tidak terkunci.

Di dalam, semua bernuansa abu-abu, hitam, putih dan hijau. Cukup aneh bagi Oik. Oik tertuju pada rak-rak CD yang tinggi, dan menampung banyak CD. 1 televisi yang menyala, lalu laptop yang terbuka tapi mati, dan berbagai alat yang lain dan canggih. Dan pasti mahal, tambahnya. Oik juga tertuju pada banyak sekali kertas-kertas berserakan dimana-mana. Aneh, berantakan sekali. Dengan sangat amat berat, Oik menuju ranjang yang berselimut hijau, dan seseorang tidur disana. Dengan lelap.

Oik meliahat wajah tampan tuan muda. Tak tega membangunkannya karena keindahan wajahnya. Tapi,  Oik menepis semua itu. Ia mengatur napasnya agar tenang, dan mulai membangunkannya.
“Eh, hei. Bangun!” kata Oik menggoncangkan tubuh tuan muda. Panas, saat disentuh. Oik mendumel. Tak ada reaksi. Tuan muda hanya bernapas lebih keras.
“HEI! Kubilang BANGUN!” Oik membesarkan suaranya, dekat sekali di telinganya. Oik mencium aroma aneh di dekat teliga tuan muda. Tapi, meng-enakkan. Oik menekan pelipisnya. Stress. Dengan segenap tenanga, Oik berteriak lantang dan mendorong tuan muda.
“BANGUN!”  Oik lepas kendali dan akhirnya tuan muda terguling dan jatuh. “Ups” Oik menarik tangannya dan menutup mukutnya. Terdengar sedikit erangan. Dan setelah 30 detik berlalu, ada reaksi. Tuan muda bangkit sambil memegang kepalanya.
“Kenapa aku dibawah?” tanyanya pada Oik .Dan tatapannya tajam, hingga mengetahui baha Oik yang menjatuhkannya. Oik sedikit kaget melihat tatapan tajam tuan muda. Tetapi, Oik berusaha tenang dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.
“Aku, tidak tahu. Kulihat kau bergerak sendiri dan akhirnya jatuh” aku  Oik dengan wajahnya yang polos. Untungnya tuan muda percaya. Ia melangkahkan dirinya ke hadapan Oik. Aroma aneh mulai tercium lagi. Tapi… ini harum. Oik memerah, kenapa ia memikirkan hal seperti itu.

Tentu saja. Ia sama sekali tidak tahan dengan pesona tuan muda-nya! Pertama, dadanya dan bahunya bidang – ditambah tuan mudanya ini memakai singlet – lalu kulitnya putih bersih, matanya mengkilap dan sedikit sipit, rambutnya hitam berantakan. Ditambah aroma tubuhnya yang harum. Ini membuat Oik terkagum kagum.
“Ada apa? Kenapa kau menatapku begitu?” tanya Oik setelah sadar dari fantasi-fantasinya. Tentu saja fantasi tentang fisik tuan muda. Oik baru sadar kalau tuan mudanya menatapnya. Tuan muda menggosok hidungnya.
“Kau tepat waktu. Kau juga membangunkanku. Terima kasih” katanya pelan, dan berbalik. Ia mengambil handuk yang ia cantelkan di kursi hijaunya. Oik hanya menatap punggungnya kagum. Lalu, tuan muda berhenti dan menatap berbalik, memandang Oik lagi. Oik gugup.
“Apa kau mau berdiri saja disitu??” tanya tuan muda dengan nada ketus. Oik mengerutkan kening,
“Tentu saja tidak!” kata Oik keras. Ketus sekali. “Apa yang harus kulakukan?” tanya Oik.
“Hm, tunggu aku dibawah. Di meja makan.” Kata Tuan muda datar.  Oik memutar bola matanya dan menggumam, “Baiklah…”

Dengan kikuk, Oik menunggu di meja makan seperti apa yang diperintahkan. Oik terlalu patuh, dan ia menyadarinya. “Sejak kapan aku patuh seperti ini? Padahal, aku tak setuju dengan pekerjaan konyol ini! Sial. Aku sudah terlena” kata Oik sambil melihat-lihat disekitarnya. Banyak pembantu yang berseragam sama dengan Angel lalu lalang di depan Oik. Lalu, Oik melihat Angel lagi. Ia melambai. Oik membalasnya.

Dan tanpa disangka, Rio sudah ada di samping Oik. Oik awalnya tidak sadar, tapi ia sadar ketika ia merasakan seperti ada orang disebelahnya.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Rio. Ia membuka jasnya, dan menaruhnya di bahu kirinya. Aku tersenyum, lalu memanyunkan bibirku,
“Menunggu anak manja. Kau tahu maksudku, Tuan muda” kata Oik dengan kesal. Rio tertwa.
“Dia tidak semanja itu. Ah, susah ditebak. Wajah tampannya yang membuatnya sulit ditebak. Tenang, ia mandi tidak akan lama” kata Rio sambil tersenyum. Oik sedikit terpana, karena saat Rio tersenyum, tampan. Tapi tidak setampan tuan muda. Jauh lebih tampan tuan muda. Jelas.
“Siapa namanya? Sepertinya kau hanya menyebutnya dengan sebutan ‘tuan muda’. Aku rasa aku tak suka panggilan itu” tanya Oik. Tanya nya meluncur begitu saja dari mulutnya. Oik sendiri bingung, kenapa ia sangat ingin tahu namanya. Rio berkacak pinggang, dan mengelus dagunya. Lalu tersenyum licik.
“Bagaimana kalau kau tanya sendiri?? Ya… mungkin kalian bisa akrab dengan cara seperti itu” Oik tercekat. Akrab. Oik tidak habis pikir, ia akan akrab dengan si Tuan Muda. Sepertinya sulit. Ya, memang sulit. Ekspresinya yang suka tidak menenti itulah yang membuatnya sulit. Lagi lagi, Rio tertawa. Oik hanya mengendus kesal. Rio menegrang, “Maaf”.

Oik mendengar langkah kaki yang cukup keras, mungkin karena hentakkan sepatunya, mengarah ke bawah. Oik bisa langsung menebak bahwa itu, Tuan muda. Ya, tentu saja Oik benar. Dengan sedikit gugup, Oik merapikan jasnya yang ia terus remas sambil menunggu kedatangan tuan muda. Dengan sigap, Rio menyuruhnya diam, dan santai. Oik mencobanya.
“Apa aku lama?” tanya nya menatap Oik dan Rio bergantian. Rio menggeleng, Oik ikut menggeleng. Padahal, dalam hatinya ia sedang memaki-maki 2 orang aneh ini. Pertama, Oik harus pura-pura di depan tuan muda kalau ia menunggu tiak lama. Dan Rio, tentu saja ia tidak menunggu lama, karena ia baru datang! Dan ia terus saja meledek Oik dengan tawanya yang selalu terkesan mengejek.
“Kalau begitu, duduklah. Kalian mau makan sambil berdiri?” katanya sambil menarik kursi di meja makan pelan. Rio menyuruhku duduk di sebelahnya. Dan posisi mereka – tuan muda di sebelah Oik, dan Rio di sebelah Oik. Intinya, Oik berada di tengah-tengah.
Dengan cepat, Oik melihat Angel dan anak buahnya memberikan mereka sarapan. Dengan anehnya, Oik juga diberi sarapan. Padahal, Oik pikir derajatnya sama dengan Angel.
“Terima kasih” gumam tuan muda. Oik dan Rio mengikutinya. Oik sempat kagum, karena tuan muda begitu mudahnya mengucapkan terima kasih.
“Makanlah, jangan menahan lapar. Aku tahu kau belum makan sejak datang ke sini. Aku tak mau repot kalau tiba-tiba kau pingsan karena belum makan.” Kata tuan muda ketika Oik hanya menatap satu mangkuk sereal tanpa menyentuhnya.

Oik meraih sendok silver di depannya dan melahap sereal di depannya dengan sewajarnya. Ia tidak mau imagenya buruk di depan 2 lelaki ini. Di meja makan pun hening. Oik tak tahan dengan suasana seperti ini. Ia jadi ingat, adik-adiknya di hokkaido yang selalu meramaikan meja makan dengan celotehan-celotehan polos mereka. Rindu rasanya… padahal baru kemarin Oik meninggalkan Hokkaido.

Oik” sapa tuan muda dengan pelan. “Oik  Cahya Furukwa. Itu kan namamu?” tanya tuan muda sambil menoleh ke arah Oik. Oik sedikit tersedak, karena dengan tiba-tiba tuan muda memanggil namanya. Lenkap. Oik mengangguk.
“Ya” respon Oik. “Kenapa?”
“Namamu aneh. Tapi cukup unik. Bagaimana, Io?” ia mengomentari nama Oik, dan meminta pendapat Rio, alias Mario Stevano.
“Ya, aku setuju denganmu. Hahaha” tawa Rio menggelegar di meja makan. Oik cemberut, tentu saja. Niko melihatnya dan menahan tawa.
“Haha, maaf, aku hanya bercanda! Jangan berwajah begitu… oh, ya. kau mau tahu siapa namaku?” setelah meminta maaf, tuan muda menawarkan hal yang bodoh. Oik tak menjawab, hanya memutar mutar sendok di maskuk berisi sereal, sehingga sereal itu berputar dalam mangkuk. Oik berdehem.
“Baiklah. Biar kau tidak penasaran… namaku Cakka. Cakka Nuraga Fujiyama” ia memperkenalkan dirinya dengan pede. Oik menarik napas.
“Oh, salam kenal. Dan kau terlihat sangat pede” komen Oik. Cakka terawa.
“Aku memang begitu. Banyak yang menyukaiku karena pesonaku. Kau harus tahu itu” katanya lebih pede lagi. Oik mengarahkan pandangannya ke Rio. Lebih baik. Walaupun Rio tampan, dan wajah tampannya terkalahkan oleh Cakka, tapi ia tidak caper seperti Cakka. Itu membuat Oik sedikit lebih baik. Oik melihat Rio mengecek jamnya.
“Wah, sepertinya kita harus berangkat. Ayo, aku akan menyetir” kata Rio, beranjak dari kursinya lalu memakai jasnya kembali. Oik dan Cakka beranjak hampir berbarengan hingga Oik jadi sedikit salting. Cakka juga mengecek jamnya, lalu menoleh pada Oik.
“Kau punya jam?” tanyanya. Oik menggeleng tanpa berpikir. Cakka menatap Oik aneh, dan menggelengkan kepala.
“Ya tuhan, kau serius? Sepertinya aku harus membelikanmu jam, sore ini juga” kata Cakka. Oik terkejut.
“Kau tak perlu melakukan itu! Jangan, tidak, kumohon. Itu merepotkan” cegah Oik . Itu membuatnya sangat berhutang budi pada Cakka. Apa jadinya kalau suatu saat Cakka minta uangnya diganti? Tentu saja keluarganya tak akan mampu menggantinya, karena jam yang Cakka beli pasti mahal. Cakka menggeleng,
“Tidak, tidak. Kau harus beli jam. Ini juga demi pekerjaanmu. Kau harus menyesuaikan jam mu dengan jamku. Harus sama. Agar kau bisa tepat waktu melakukan apa yang kusuruh” katanya dingin. Ia menatap Oik lebih dalam lagi, “Jangan menolak” tambahnya. Oik hanya menelan ludah dan diam. Dan segera bergegas menyusul Rio yang sudah mengomel tidak jelas.

Dengan perlahan, Oik masuk ke dalam mobil Audi itu. Oik berusaha wajar, tidak terlalu kagum dengan mobil yang dinaikinya sekarang. Tentu saja, Oik baru pertama kali menaiki mobil-mobil mewah. Di Hokkaido, jarang sekali ada mobil seperti ini. Malah tidak pernah.

Oik duduk di belakang, sendirian. Sedangkan Cakka beserta Rio – yang menyetir – duduk di depan. Oik menghela napas panjang.
“Jadi, kau berumur 19 ya?” tanya Cakka di perjalanan. Oik ingin jujur, tapi takutnya ia ditaruh di tengah jalan. Dengan yakin Oik menjawab Ya, tapi pelan. Cakka tertawa.
“Kau tak setua itu, kau tahu? Kau berumur 17. Sama sepertiku. Kau berbohong” kata Cakka masih dengan ketawanya yang keras. Oik meringsut kesal. Sangat kesal. Tapi, akhirnya kebohongannya terbuka juga. Oik hanya tersenyum miris.
“Berbohong padaku ya? tidak tahu akibatnya?” katanya datar, dan serius. Oik mulai berdebar.
“Apa yang akan kau lakukan padaku?” tanya Oik dengan sedikit menantang. Cakka mengelus dagunya.
“Apa ya, Rio? Apa seperti biasa saja?” ia menoleh pada Rio. Rio menggeleng,
“Oh tidak, tidak. Ia masih kecil. Lakukan yang ringan saja dulu” kata Rio tertawa. Oik tertegun, dan ia berpikir Rio akan membantunya. Tapi, tahunya tidak.
“Sudahlah, lupakan saja” kata Cakka lemas. Ia tersenyum. “Kalau begitu, kau berhutang padaku, Oik” katanya pelan. Oik hanya bernapas lega.

Oik mengendus kesal, tentu saja. Kenapa? tentu saja. Cakka terlalu mengatur hidup Oik. Dan menganggap dirinya raja. Mengealkan. Wajah tampan, tapi perilaku tak mendukung. Kenapa juga ia bilang, banyak yang suka padanya. Apa mereka tahu kebiasaannya? Yang sebenarnya? Oik berani bertaruh jawabannya tidak. Pasti tidak.

Tidak lama, mereka sampailah mereka di sebuah sekolah yang megah. Sangat megah malah. Gerbangnya tinggi dan lebar. Di tengah tengah pagar membentuk logo HHS. Oik tertegun melihatnya.
“Turunlah. Tampangmu seperti orang bodoh, tahu” omel Cakka saat melihat Oik menganga memerhatikan sekolah barunya. Rio terkik sambil membuka pintu mobilnya. Oik meraih tas, dan keluar. berdiri di sebelah Cakka. Tidak terlalu dekat, jaga jarak. Cakka menghela napas.
“Mau pergi sendiri?” tanya Rio, dengan seragam yang sama dengan Oik dan Cakka. Hei, sejak kapan ia berganti baju? Oik menarik napas dalam, dan menatap marah Cakka.
“Ya, aku mau pergi sendiri!” kata Oik mulai melangkahkan kakinya ke gerbang yang sudah mulai penuh dengan murid lain. Cakka terseyum sesaat, dan menoleh ke Rio.
“Aku yakin, ia akan berbalik.” Kata Cakka sambil mengambil tasnya dari Rio. Dan dugaan Cakka benar, Oik berbalik badan, dan melanjutkan jalannya. Cakka tertawa pelan, dan keluar celotehan dari Rio, “Hahaha, kau benar! Dan aku yakin, ia akan tersesat. Sekolah ini terlalu besar baginya. Kau sudah lihat sekolahnya di hokkaido? Lebih kecil dari pada ini”. Cakka menggeleng sambil tersenyum,
“Ayo, susul dia. Kuyakin ia akan berteriak minta tolong sehabis ini. Hahahha” tawa Cakka meledak.


TBC


cr : serrastory




Tidak ada komentar:

Posting Komentar